KY Ungkap Hasil Temuan Diskusi dengan Jejaring dalam Penyusunan Policy Brief Pemantauan Sidang Tertutup
Workshop “Membangun Kerangka Kebijakan Mahkamah Agung Melalui Penyusunan Policy Brief Pengawasan Preventif Persidangan yang Bersifat Tertutup” pada Selasa (8/10/2025) di Jakarta.

Jakarta (Komisi Yudisial) - Komisi Yudisial (KY) bekerja sama dengan Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) telah menjaring masukan publik di tiga wilayah dengan tingkat kekerasan terhadap perempuan dan anak yang tinggi, yakni di Jawa Timur, Kalimantan Timur dan NusaTenggara Timur. Harapannya, hasil temuan KY ini akan kita sampaikan kepada MA sebagai bahan penyusunan policy brief.

Direktur Pusham UII Eko Riyadi menyampaikan temuan besarnya adalah praktik di pengadilan sangat beragam. Pusham UII menemukan praktik-praktik baik di ketiga daerah tersebut sudah diterapkan oleh hakim, pasca adanya surat balasan Ketua Kamar Pengawasan MA Nomor 7/TUAKA.WAS/PW1.4/II/2025.

“Praktik di Kupang, hakim justru mengundang pemantau dari KY. Kalau dari KY belum datang, sidangnya tidak dimulai. Hal ini untuk memastikan seluruh prosesnya sudah dipantau KY dan hakim sudah melakukan persidangan sesuai KEPPH. Meski praktik baik sudah ditemukan, tetapi di persidangan lainnya masih ada yang masih menolak KY hadir memantau persidangan," jelas Eko.

Kemudian terkait pendamping, lanjut Eko, pendamping dibolehkan hadir oleh hakim dengan berbagai skema kehadiran pendamping yang beragam. Pada beberapa kasus, kehadiran pendamping hanya diperbolehkan hadir terbatas pada saat saksi/korban di hadirkan dimuka sidang untuk diperiksa. Namun, pada beberapa kasus lain, pendamping juga diundang untuk hadir di setiap proses persidangan hingga pemeriksaan lapangan, sehingga tidak hanya sebatas pemeriksaan saksi atau korban.

Eko melanjutkan, terkait perspektif gender dalam mengadili perkara, temuan diskusi menyimpulkan bahwa sebagian hakim sudah memiliki perspektif gender dalam menjalankan persidangan.

“Sudah ada juga praktik baik dari hakim yang mengingatkan di ruang sidang, karena perkara ini terkait perempuan dan anak, maka diminta kepada semua pihak untuk menghormati hak-hak perempaun dan anak. Misalnya, tidak boleh mengeluarkan pertanyaan dan pernyataan yang mengganggu digniti perempuan dan anak,” jelas Eko.

Namun, di sisi lain, masih juga ditemukan pernyataan yang diskriminatif dan intimidatif dari majelis hakim. "Kami menemukan ada istilah CU yang berarti celana umpan karena korban menggunakan celana pendek,,” ungkap Eko.

Semua temuan tersebut akan dijadikan pijakan KY dalam menyusun policy brief_ pemantauan persidangan tertutup, khususnya pada kasus perempuan dan anak berhadapan dengan hukum. 

Pada kesempatan yang sama, akademisi Sekolah Tinggi Hukum Militer Ninik Rahayu menambahkan beberapa catatan penting dalam penyusunan policy brief di KY agar komprehensif. Menurutnya, semangat pemantauan persidangan pada sidang tertutup oleh KY harus dilandaskan pada akuntabilitas agar persidangan tertutup tetap aman bagi perempuan dan anak.

“Catatan penting dari saya dalam menyusun policy brief ini adalah KY sebagai pihak yang dapat hadir dalam sidang tertutup ini tentu harus tetep berkomitmen untuk menjaga akuntabilitas," tegas Ninik. (KY/Halima/Festy)


Berita Terkait