Perlu Penguatan Etika dalam Pemberantasan Korupsi
Ketua Bidang Pencegahan dan Peningkatan Kapasitas Hakim KY Joko Sasmito pada Seminar Nasional bertajuk Menguatkan Strategi dan Budaya Nasional dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Auditorium Universitas Pancasakti Tegal (UPS) pada Sabtu (5/11).

Tegal (Komisi Yudisial) – Praktik korupsi terus berkembang di Indonesia. Komisi Yudisial (KY) sebagai lembaga yang berwenang menjaga kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim perlu memastikan para hakim terbebas dari praktik korupsi. Sebagai langkah pencegahan yaitu melalui pelatihan yang dapat meningkatkan keilmuan hakim dan penguatan etika.
 
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Bidang Pencegahan dan Peningkatan Kapasitas Hakim KY Joko Sasmito pada Seminar Nasional bertajuk Menguatkan Strategi dan Budaya Nasional dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Auditorium Universitas Pancasakti Tegal (UPS) pada Sabtu (5/11).
 
Menurut Joko, dengan penguatan etika dalam program pelatihan hakim, hal itu dapat membantu untuk mengurangi indeks korupsi di Indonesia yang terbilang sangat tinggi. Pasalnya, hakim dianggap sebagai tokoh sentral di dunia hukum dan peradilan.
 
“KY menjalankan program peningkatkan kapasitas hakim, seperti hal teknis yang bersifat hukum secara tematik (korupsi). Selain itu, KY juga menguatkan etika hakim melalui program-program pelatihan bagi hakim setiap tahunnya. Hal ini diharapkan dapat menguatkan hakim selaku penegak hukum dalam memutus perkara korupsi di Indonesia,” ucap mantan Hakim Militer ini.
Senada yang disampaikan Joko, Hakim Agung Surya Djaya berpendapat dalam memberantas korupsi tidak hanya selalu dengan menggunakan pendekatan hukum saja. Namun, yang lebih penting adalah pendekatan budaya (culture) dan  pendekatan etik, seperti yang dilakukan oleh KY.
“Tidak perlu undang-undang yang banyak dan panjang dalam memberantas korupsi, karena yang lebih penting adalah pendekatan budaya masyarakat. Selain itu pendekatan etika, seperti yang dilakukan oleh KY,” ujar Guru Besar Hukum Universitas Hasanuddin ini.
 
Sebagai contoh, tambah Surya Djaya, bangsa Indonesia punya budaya “malu” yang merupakan budaya yang sama di Jepang. Namun bedanya, Jepang menerapkan budaya itu, tetapi Indonesia tidak.
 
“Indonesia perlu menanamkan dan menjalankan budaya malu seperti Negara Jepang, untuk mengikis perilaku korupsi baik pejabat maupun masyarakat,” pungkasnya.
 
Sebagai informasi, seminar nasional ini digagas oleh Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Hukum UPS Tegal dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menghadirkan Hakim Agung Surya Djaya, Guru Besar UPS Wahyono dan Dosen Pascasarjana Hukum Hamidah Abdurrachman yang disatukan dalam panel. (KY/Adnan/Festy).

Berita Terkait