Tiga Lembaga Negara Bersinergi Selenggarakan Prakonferensi II Etika Berbangsa dan Bernegara
Ketua KY Aidul Fitriciada Azhari menyampaikan sambutan dan membuka Prakonferensi II Etika Berbangsa dan Bernegara dengan tajuk “Diskursus Integrasi Sistem Kode Etik dan Penegakannya”, Kamis (04/05)

Jakarta (Komisi Yudisial) – Komisi Yudisial (KY) menjadi  tuan rumah Prakonferensi II Etika Berbangsa dan Bernegara dengan tajuk “Diskursus Integrasi Sistem Kode Etik dan Penegakannya”, Kamis (04/05) bertempat di Ruang Auditorium KY, Jakarta. Acara ini terselenggara atas kerja sama tiga lembaga nagara, yaitu Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Komisi Yudisial (KY), dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). 
 
Ketua KY Aidul Fitriciada Azhari dalam sambutannya menyampaikan, KY sudah sejak lama mempromosikan untuk menindaklanjuti TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Ada permasalahan yang mendalam dalam penerapan TAP MPR ini berawal dari Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), di mana nilai-nilainya terlalu Jawa sentris. Pandangan itu membuat pola pikir Jawa menjadi sangat dominan di negara Indonesia yang tercermin dalam rezim orde baru. 
 
“Untuk itu perlu digagas kembali nilai-nilai agama dan budaya agar di-install ke dalam sistem etika dalam berbangsa dan bernegara sesuai dengan tuntutan reformasi tahun 1998,” ungkap Aidul.
 
Sementara Ketua MPR Zulkifli Hasan berpandangan, Pancasila tidak boleh berhenti menjadi sistem yang statis tetapi harus menjadi panduan bangsa Indonesia dalam meraih cita-cita berbangsa dan bernegara. Mengingat sejauh ini Pancasila hanya menjadi alat politik semata, dan belum menjadi apa yang diharapkan. 
 
"Hal ini diakibatkan kita belum bisa benar-benar mengintegrasikan nilai-nilai ideologi pada Pancasila. Mengingat permasalahan yang dihadapi bangsa ini adalah ketidakadilan hukum dan memudarnya nilai-nilai etika berbangsa dan bernegara. Hukum berakar dari sistem etika, juga moral dan nilai-nilai (norma-norma) yang berujung pangkal pada ideologinya,” ungkap Zulkifli.
 
Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie saat memberikan sambutan menyatakan, negara perlu melakukan set up constitution rule terkait etika di negara Indonesia. Dalam memperbaiki kondisi negara ini, tidak hanya bisa mengandalkan penegakan hukum saja, tetapi juga politik dan juga ekonomi. Karena ekonomi bisa mengendalikan politik dan akhirnya politik memengaruhi penegakan hukum. Untuk membangun hukum harus ditopang dengan sistem etika yang baik, untuk itu etika perlu  menjadi sistem resmi yang diatur dalam konstitusi.
 
“Perlu diperkuat kewenangan KY agar dilengkapi dengan tugas-tugas konstitusi yang baru, tidak hanya sebatas etika hakim saja. Karena biaya untuk memasukan KY ke konstitusi sangat mahal sehingga dirasakan kurang cukup jika hanya melakukan pengawasan etika hakim,” ujar Jimly.
 
Prakonferensi I sebelumnya digelar di Hotel Borobudur pada Rabu, 5 April lalu. Dari kegiatan ini diharapkan nantinya menghasilkan suatu rumusan kesepakatan tertulis mengenai formulasi etika berbangsa dan bernegara, serta penegakannya. (KY/Noer/Festy)

Berita Terkait