Jaring CHA Potensial KY Sasar Perguruan Tinggi
Sosialisasi dan Penjaringan Calon Hakim Agung (CHA) dan Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Mahkamah Agung bekerja sama dengan Fakultas Hukum (FH) Universitas Andalas (Unand) Padang, Kamis (18/02).

Padang (Komisi Yudisial) - Untuk mengoptimalkan penjaringan Calon Hakim Agung (CHA) potensial dan Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY) sasar Perguruan Tinggi di daerah.
 
Salah satu yang dilakukan KY adalah melakukan Sosialisasi dan Penjaringan Calon Hakim Agung (CHA) dan Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Mahkamah Agung bekerja sama dengan Fakultas Hukum (FH) Universitas Andalas (Unand) Padang, Kamis (18/02). Hadir sebagai pembicara Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Sukma Violetta, Dekan FH Unand Zainul Daulay dan dimoderatori oleh Dosen FH Unand Ilhamdi Taufik.
 
Menurut Sukma, perguruan tinggi mempunyai peranan strategis untuk menjaring CHA dan hakim ad hoc potensial di wilayah masing-masing.
 
"KY menganggap penting kegiatan ini sebagai bagian dalam melaksanakan amanat konstitusi, yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalan rangka menjaga dan menegakkab kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim," ujar Sukma.
 
Dalam Paparannya, Ketua Bidang Pengawasan dan Investigasi menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi dan tahapan yang akan dilalui oleh para calon.
 
"Seleksi calon hakim agung dimulai dari proses penerimaan usulan, seleksi administrasi meliputi kualitas, kesehatan, kepribadian, wawancara terbuka, penetapan kelulusan dan penyampaian usulan kepada DPR," jelas wanita lulusan University of Nottingham ini.
 
Sukma menambahkan, pendaftaran calon hakim agung dimulai 5 hingga 26 Februari 2016 dan hakim ad hoc Tipikor 11 hingga 2 Maret 2016.
 
Sementara itu, Dekan FH Unand Zainul Daulay menilai ada penurunan minat CHA kesulitan dalam mencari hakim agung terutama dari non karier. Ada dua faktor yang menyebabkan minimnnya minat praktisi atau akademisi untuk menjadi hakim agung yaitu hambatan psikologi dan hambatan administratif.
 
"Secara psikologi cenderung menggunduli atau mem-bully sehingga terkesan lebih kepada politisasi. Mereka (calon hakim dari akademisi) itu seorang doktor atau profesor yang tidak semestinya diperlakukan seperti itu,” papar Zainul.
 
Sedangkan untuk hambatan administratif dimana sebagai seorang profesor, usia pensiunnya di perguruan tinggi adalah 70 tahun sementara sebagai hakim agung juga 70 tahun. Ketika seorang profesor hukum sudah menjadi hakim agung, otomatis dia meninggalkan jabatannya sebagai akademisi dan masuk ke jabatan struktural.
 
Zainul juga mengeluhkan proses seleksi yang di lakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menurut Zainul, DPR seharusnya tidak melakukan seleksi lagi karena sudah dilakukan oleh KY.
 
"Jika di DPR diuji lagi, untuk apa proses seleksi di KY, apalagi di DPR itu sepertinya prosesnya, pertanyaan yang diajukan kadang tidak ada relevansinya dengan tugas dan fungsi hakim agung," ujar Zainul.
 
Sekedar informasi, formasi calon hakim agung tahun 2016 sebanyak 8 orang dengan komposisi masing-masing 1 orang Hakim Agung untuk Agama, Pidana, Militer dan Tata Usaha Negara serta 4 orang Hakim Agung Perdata. Sedangkan untuk Hakim Ad Hoc di MA tersedia formasi 3 orang. (KY/Jaya/Festy)

Berita Terkait