Calon Hakim ad hoc Hubungan Industrial Junaedi: Atasi Perselisihan Industrial, UU PHI Harus Direvisi
Calon pertama yang diwawancara adalah Junaedi.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Memasuki hari terakhir wawancara terbuka calon hakim ad hoc Hubungan Industrial yang dilaksanakan Kamis (18/01) di Auditorium KY menghadirkan 4 calon dari unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Calon pertama yang diwawancara adalah Junaedi.
 
Hakim ad hoc PHI di PN Jakarta Pusat sejak tahun 2006-2016 ini baru saja memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisakti pada tahun 2017. Dalam disertasinya, calon memperkuat teori dari Mohammad Ali, bahwa dalam bersidang di perkara PHI maka hakim harus menggunakan teori prioritas kasualitas. Putusan itu idealnya memenuhi unsur kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Namun dalam PHI, hal tersebut tidak mutlak dan harus disesuaikan dengan kasusnya.
 
“Oleh karena itu, dalam rekomendasi disertasi saya, adanya revisi UU Nomor 2 Tahun 2004. Karena UU tersebut banyak permasalahannya, multi tafsir, tidak mencerminkan kebutuhan masyarakat dan kekinian,” ujar pria kelahiran Pandeglang, 19 Juli 1964 ini.
 
Selama menjadi hakim ad hoc, walaupun tidak sering namun ada saja usaha dari pihak untuk melakukan intervensi proses peradilan. Cara intervensinya cukup halus, dengan menggunakan pihak ketiga. Menurut Junaedi, semua tawaran tersebut ditolak.
 
“Saya pernah menangani kasus yang nilainya 200 milyar. Saya ditawari kompensasi yang nilainya saya tidak berani saya sebutkan karena saking besarnya. Tidak saja kepada saya, tapi ke anggota majelis hakim yang lain. Kami tegas menolak, dan memenangkan pihak lawan karena memang putusannya pihak yang mengiming-imingi ini harus kalah,” pungkas Junaedi. (KY/Noer/Festy)

Berita Terkait