RUU Jabatan Hakim adalah Terobosan Legal Problem Peradilan
Senior PUKAT UGM Zainal Arifin Mochtar saat menjadi narasumber diskusi media tema "Politik Hukum Peradilan Indonesia Dalam RUU Jabatan Hakim", pada Senin (20/5) di Jakarta.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Anggota DPR RI Benny K. Rahman mengungkapkan, saat mengamandemen UUD 1945, pembuat legislasi lupa memperhatikan pembinaan pelaksana kekuasaan kehakiman, tidak peduli pada proses rekrutmen para pemegang keadilan. Hanya di tingkat Mahkamah Agung (MA) saja yang diperhatikan, di mana hakim agung dipilih oleh Komisi Yudisial (KY) dan DPR. 
 
“Dengan melihat kenyataan tersebut, kita mencoba membuat terobosan legal dengan mencetuskan Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim.  RUU Jabatan Hakim ini diharapkan dapat mengatur hal yang paling prinsipil, yaitu sejak proses rekrutmen hakim. Diatur pula mutasi, rotasi, demosi, kaitan dengan teknis yudisial, gaji, kesejahteraan, pengamanan, dan masa pensiun,” lanjut politisi senior ini saat menjadi narasumber diskusi media tema "Politik Hukum Peradilan Indonesia Dalam RUU Jabatan Hakim", pada Senin (20/5) di Jakarta. 
 
Benny memandang RUU Jabatan Hakim ini sangat penting. DPR memutuskan sejak 2014 bahwa RUU ini adalah prioritas. Tapi, lanjut Benny, dengan waktu yang tersisa ini tidak optimis akan selesai. RUU Jabatan Hakim ini gagal disahkan karena partai politik tidak memiliki pemikiran tentang urgensi dari RUU ini sehingga diabaikan. 
 
Menurut Benny, kekuasaan kehakiman sejak masa reformasi sangat powerful. Tidak lagi dibatasi atau menjadi bagian dari eksekutif maupun legislatif, karena levelnya sama. Bahkan, kewenangan juga lebih tinggi di bidang hukum. Dari persepsi ini bisa dianggap bahwa UUD 1945 sebagai revolusi konstitusi. 
 
“Kita punya harapan kekuasaan kehakiman bisa memberikan dampak positif yang lebih nyata. Tapi yang kita lihat saat ini adalah realitas lain yang jauh dari harapan. Bukannya wewenang digunakan sebagai sarana penegakan, tapi transaksi. Pengadilan menjadi tempat transaksional hukum dan keadilan. Wewenang marak disalahgunakan, dan pemerintah sendiri tidak peduli,” tegas Benny.
 
Senior PUKAT UGM Zainal Arifin Mochtar mengharapkan RUU Jabatan Hakim harus lebih hebat dan kuat. Bayangan Zainal, hakim adalah semua yang bisa memutuskan perkara. Karenanya, RUU ini harusnya ditujukan bagi seluruh jabatan yang memiliki kewenangan memutus perkara. 
 
Menurutnya, nantinya tinggal dipisahkan sesuai dengan posisi dan kelembagaannya. Termasuk hakim Mahkamah Konstitusi (MK), KPI dan KPPU. Walaupun KPPU bukan hakim, tapi kewenangannnya melakukan penyidikan dan memutus. Lembaga tersebut tidak ada yang mengawasi. 
 
“RUU Jabatan Hakim ini penting karena kita belum ada cetak biru tentang rekrutmen hakim. Contohnya dalam proses rekrumen Hakim MK harusnya ada unsur partisipasi dan transparasi publik. Namun hanya presiden yang peduli, DPR baru peduli, dan MA tidak mengikuti ketentuan tersebut. RUU Jabatan Hakim ini juga harus mempertegas posisi main dan supporting antara KY dan MA, disesuaikan dengan isu yang diatur,” pungkas Zainal. (KY/Noer/Festy)

Berita Terkait