KY Berperan Konstruktif Sebagai Mitra Kritis MA
Ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Kajian & Advokasi Independen Peradilan (LeIP) Dian Rositawati saat menjadi pembicara pada International Webinar: The Judicial Comission and The Independence of Judiciary: Lesson Learned from Indonesia and Belgium yang diselenggarakan Komisi Yudisial (KY) secara daring, Selasa, (12/10).

Jakarta (Komisi Yudisial) - Sejak Komisi Yudisial (KY) pertama kali dibentuk pada 2004, konflik dan ketegangannya dengan MA selalu menjadi pusat perhatian. Salah satu isu utama yang diangkat oleh hakim dan pengadilan adalah kekhawatiran bahwa KY akan mengintervensi kemandirian yudisial para hakim ketika menjalankan perannya dalam mengawasi etika dan perilaku hakim. KY memainkan peran penting sebagai pilar akuntabilitas peradilan dengan fungsinya melakukan seleksi calon hakim agung dan menjaga etika serta perilaku hakim melalui fungsi pengawasan. 

 

“Peran KY untuk mengawasi perilaku hakim adalah penting sebagai penyeimbang pengawasan internal oleh MA. Diskusi untuk memperkuat integritas dan akuntabilitas peradilan tidak harus selalu berfokus pada masalah kewenangan, tetapi juga harus mengulas masalah kelembagaan dan prosedur yang menggambarkan aturan main kedua lembaga,” tutur Ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Kajian & Advokasi Independen Peradilan (LeIP) Dian Rositawati saat menjadi pembicara pada International Webinar: The Judicial Comission and The Independence of Judiciary: Lesson Learned from Indonesia and Belgium yang diselenggarakan Komisi Yudisial (KY) secara daring, Selasa, (12/10).

 

KY, lanjut Dian, diperkenalkan melalui Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 sebagai lembaga yang mandiri. Undang-Undang menyebutkan peran dari KY ini sebagai pengawas eksternal, sementara Mahkamah Agung (MA) mempunyai kewenangan melakukan pengawasan internal.

 

Dikatakan Dian, karakteristik KY sebagai organisasi independen tercermin dari komposisi komisionernya. Namun, persoalan yang timbul adalah bahwa kelompok keanggotaan diisi oleh sosok yang tidak familiar dengan isu peradilan yang kemudian berpotensi melemahkan hubungan dengan MA. Kehadiran mantan hakim dalam keanggotaan KY juga seringkali tidak dapat menjembatani kesenjangan komunikasi dan pengetahuan antara kedua lembaga.

 

Di sisi lain, terdapat harapan masyarakat yang tinggi kepada KY agar tidak hanya fokus pada pelanggaran etika dan perilaku, tetapi juga memerangi korupsi di peradilan. KY mengalami situasi sulit untuk menyeimbangkan sifat represifnya dan pada saat bersamaan mengelola citranya sebagai mitra peradilan.

 

“Terkikisnya kepercayaan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung tercermin dari persaingan dan konflik yang terus terjadi antara kedua lembaga,” ungkap Dian.

 

Ditambahkan Dian, akibat dari adanya ketegangan dan konflik antara KY dan MA, maka dapat meningkatkan ketidakpercayaan antara KY dan MA. Akibatnya, banyak rekomendasi dari KY yang tidak ditanggapi secara serius atau bahkan ditolak dengan alasan tidak memenuhi standar MA. Kebanyakan konflik juga mengarah kepada pengajuan judicial review yang mengakibatkan menyusutnya kewenangan KY.

 

Ditambahkan Dian, untuk menjalankan fungsi akuntabilitas, KY sebagai lembaga penunjang fungsi peradilan dituntut untuk berperan konstruktif sebagai mitra kritis MA. KY perlu memberikan dukungan konstruktif dari balik layar, di mana KY secara proaktif bekerja sama dengan MA untuk meningkatkan integritas dan profesionalisme para hakim sekaligus menjaga kepercayaan publik kepada lembaga peradilan.

 

Langkah ke depan yang seharusnya dijalankan oleh KY dan MA adalah meningkatkan komunikasi menggunakan saluran formal dan informal. Selain itu, perlu menghindari penggunaan media massa sebagai cara mengkomunikasikan masalah pada lembaga yang dituju. Jalan lain adalah membangun Tim Penghubung yang produktif untuk menjembatani komunikasi kedua lembaga dan sebagai forum untuk menyelesaikan perbedaan yang mungkin muncul serta mencegah konflik.

 

Selain itu, KY dan MA perlu membuat panduan yang menggambarkan aturan main kedua lembaga pada wilayah kewenangan yang berpotensi tumpang tindih atau menimbulkan penafsiran atau arah yang tidak jelas.

 

“KY dan MA juga dapat menyelenggarakan pelatihan bersama tentang pengawasan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan. Pengalaman bersama ini juga mengembangkan rasa saling percaya serta ketercapaiaan akan standar bersama dalam hal pemeriksaan oleh KY dan MA,” tutup lulusan Doktor ilmu hukum Universitas Tilburg, Belanda ini. (KY/Eka Putra/Festy)


Berita Terkait