CHA Maryana: Konsumen Transaksi Online Perlu Menerapkan Prinsip Kehati-hatian
Calon Hakim Agung (CHA) kedua yang diwawancara Komisi Yudisial (KY) pada Rabu (13/11) adalah Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Yogyakarta Maryana.

Jakarta (Komisi Yudisial) - Calon Hakim Agung (CHA) kedua yang diwawancara Komisi Yudisial (KY)  pada Rabu (13/11) adalah Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Yogyakarta Maryana. 
 
Maryana menjelaskan mengenai revolusi industri 4.0 ditujukan kepada kaum milenial, di mana transaksi dilakukan secara digital. Dulu bukti dukung berupa surat atau dokumen dicetak pada kertas, sekarang dokumen cenderung dalam bentuk digital. 
 
"Payung hukumnya adalah walaupun transaksi dilakukan di dunia maya, orang yang bertransaksi masih hidup di dunia. Jadi kekuatan hukum keperdataan masih melekat dan berlaku bagi pihak yang bertransaksi. Hukum tertulis yang ada masih bisa diberlakukan," jelas Maryana.
 
Mulyana mencotohkan UU ITE, di mana mengakui secara sah dokumen digital. Kalaupun kecenderungannya seakan-akan UU ITE hanya mengurusi pencemaran nama baik, tidak terlepas dari peran media yang memunculkan kasus yang menarik bagi masyarakat. Sedangkan kasus perdata kurang menarik. Misalnya dalam jual beli online, pembeli menerima cacat produk. Walaupun bisa meminta pembatalan pembayaran ke bank, barang tersebut tetap harus dibayar karena sudah diterima.
 
"Dalam kasus tersebut, kesalahan pembeli tidak menggunakan prinsip kehati-hatian, sehingga produk yang dibeli tidak sesuai. Perlu dicek sebelum bertransaksi, apakah penjualnya terpercaya atau tidak. Tapi jika dibawa ke pengadilan, maka akan tetap bisa diproses sesuai hukum," ujar Maryana.
 
Dalam proses penegakan hukum, Maryana berpendapat memang masih banyak pekerjaan rumah. Berangkat dari survei tingkat kepercayaan masyarakat yang berada di nilai 57 persen, belum mencapai hasil yang diharapkan. Ada beberapa permasalahan yang memengaruhi hal tersebut.
 
"Pertama, kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu kolektif, tidak hanya tugas dari pengadilan, tapi juga tugas kejaksaan dan kepolisian. Kedua, seleksi pimpinan di badan peradilan berpengaruh juga. SOP rekrutmen pejabat dan hakim sudah bagus, tapi SDM masih kurang. Persoalan perilaku memang sulit diubah, meskipun di tingkat atas sudah mendorong terjadinya perubahan," ungkap Maryana. (KY/Noer/Festy)

Berita Terkait