Hakim Harus Tegas dan Menguasai Persidangan
Hari pertama Workshop Jarak Jauh Peningkatan Kapasitas Hakim diisi oleh Hakim Tinggi dan Anggota Dewan Pengawas KPK Albertina Ho.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Hari pertama Workshop Jarak Jauh Peningkatan Kapasitas Hakim diisi oleh Hakim Tinggi dan Anggota Dewan Pengawas KPK Albertina Ho. Albertina menyatakan bahwa hakim boleh menggunakan bahasa sehari-hari dalam persidangan, meskipun UU mengharuskan bahasa Indonesia yang baku. Tapi berdasarkan praktik peradilan hal tersebut bisa dilakukan. Jika harus menggunakan bahasa baku, akan kesulitan terutama di daerah, apalagi jika saksinya orang tua yang tidak fasih berbahasa Indonesia. Namun di BAP keterangan tetap ditulis bahasa Indonesia, atau diberikan arti dalam tanda kurung jika menulis istilah dalam bahasa daerah.

“Kita punya prinsip, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Saya yakin kemampuan beradaptasi hakim sudah bagus sekali, karena tiap tiga atau empat tahun sekali berpindah tempat tugas,” ujar Albertina.

Albertina menyinggung masalah perilaku dan karakter seorang hakim yang sulit dirubah, tapi sebenarnya bisa berubah jika mau berusaha. Albertina punya prinsip sebagai hakim, jangan hakim minta orang menyesuaikan dengan hakim. Namun, hakim yang menyesuaikan dengan orang lain. Jangan beralasan suara atau gaya bicara itu sudah dari lahir, karena artinya hakim tersebut tidak menerapkan KEPPH. Kadang merasa berbicara atau bertanya dengan suara yang keras, hakim menganggap dirinya menguasai persidangan atau mencegah chaos.

“Menurut saya jika kita berpikir seperti itu artinya gagal total. Biarpun pelan, tapi jika kita tegas, tidak akan terjadi chaos. Tegas bukan berarti suara keras, tapi sikap kita di dalam ruang sidang,” kata Albertina.

Dalam sesi tanya jawab, seorang hakim menanyakan kasus terkait asusila. Ketika ditanyakan oleh anggota majelis yang bermaksud menggali kasus, saksi orang tua korban tersinggung hingga meninggalkan ruang sidang. Albertina mengingatkan bahwa untuk perkara asusila, hakim patut hati-hati. Hakim harus bisa menempatkan diri pada posisi korban, bisa memahami yang dialami oleh korban. Gunakan bahasa yang sesuai hukum saat memeriksa. Kadang hakim bertanya iseng, kok bisa terjadi kejadian seperti itu? Jelas orang tua korban akan marah. Jangan pula ada dalam pikiran untuk bertanya, mengapa korban ada dalam waktu dan tempat kejadian tersebut? Pasti marah orang tuanya. Itu hak korban, tak ada larangan untuk tidak boleh keluar di jam tersebut.

“Kita harus bisa memahami, orang tua korban sudah berada di posisi marah. Apalagi jika disalahkan, tambah marah. Pertanyaan yang tujuannya memojokkan atau menjerat, hukumnya tidak boleh. Buktikan unsur saja. Jadi kita tanyankan pertanyaan yang perlu ditanyakan saja,” pungkas Albertina. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait