Sumber Ajaran Islam dapat Memperkaya Referensi dalam Praktik Peradilan
Anggota Komisi Yudisial (KY) Binziad Kadafi menjadi narasumber pada pembukaan Klinik Etik dan Advokasi tahun 2022 dan Webinar Nasional yang diselenggarakan oleh KY bersama Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya (14/03).

Surabaya (Komisi Yudisial) - Anggota Komisi Yudisial (KY) Binziad Kadafi menjadi narasumber pada pembukaan Klinik Etik dan Advokasi tahun 2022 dan Webinar Nasional yang diselenggarakan oleh KY bersama Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya (14/03). 

 

Webinar bertajuk "Peran KY dalam Menjaga Marwah Peradilan di Indonesia" dilaksanakan secara hybrid di ruang peradilan semu dengan sekitar 40 orang peserta KEA dan para dosen mentor, juga mahasiswa lain yang hadir secara daring berjumlah hingga 110 orang. 

 

Sebagai pengantar, Kadafi menjelaskan bahwa berdasarkan Pasal 24B UUD 1945 KY berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Wewenang lain diterjemahkan oleh berbagai UU ke dalam tugas dan kewenangan KY untuk menerima laporan masyarakat terkait dugaan pelanggaran KEPPH, mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim, serta advokasi hakim.

 

Selain memaparkan dinamika serta tugas dan peranan KY, Kadafi juga mengajak peserta menelusuri referensi dalam ajaran Islam untuk melihat berbagai aspek yang bisa dipertimbangkan untuk diadopsi ke dalam praktik peradilan di Indonesia.

 

"Yang dari pesantren mungkin sudah familiar dengan kitab Fathul Muin dan Fathul Qarib. Di situ ada satu bab di bagian belakang yang mangulas soal kode etik hakim, kita bisa mendapat sumber kajian dari sana," ungkap Kadafi.

 

Kadafi menilai ajaran agama dapat menjadi sumber inspirasi untuk memperkaya referensi diskursus mengenai etika dan dilema moral di bidang hukum dan peradilan.

 

Saat sesi diskusi setelah pemaparan materi, Kadafi menerima pertanyaan seputar sanksi KY kepada hakim yang melanggar, peran dan cara masyarakat untuk ikut mengawal peradilan, hingga pertanyaan mengenai upaya KY apabila usulan sanksi belum ditindaklanjuti oleh MA.

 

Menjawab pertanyaan tersebut, Kadafi menegaskan bahwa peluang masyarakat turut mengawasi perilaku hakim bersama KY sangat terbuka lebar, baik dalam Seleksi Calon Hakim Agung, pemantauan sidang, maupun advokasi hakim. Sedangkan untuk mengharmoniskan KY dan MA dalam tindak lanjut atas usulan sanksi, KY membentuk Tim Penghubung KY-MA untuk menjembatani komunikasi di antara kedua lembaga ini.

 

"KY sudah membentuk tim penghubung, dan kemarin pada Laporan Tahunan KY, diapresiasi oleh Presiden Jokowi. Kami tiga orang dari KY dan tiga orang dari MA akan berunding secara reguler untuk mengatasi hal yang selama ini menjadi kerikil dalam sepatu dalam hubungan KY-MA," tutur Kadafi.

 

Secara khusus, Kadafi berharap webinar ini menjadi bekal pemahaman peserta KEA agar dapat menyampaikan peran Komisi Yudisial melalui karya-karya yang mengusung pesan seputar peradilan bersih kepada masyarakat luas. Hal senada disampaikan Dekan FSH UINSA Masruhan yang menyakini bahwa webinar ini dapat memberikan kontribusi yang cukup besar dalam pengembangan intelektualitas mahasiswa. 

 

“Peran Komisi Yudisial ini memastikan bagaimana hakim memiliki integritas dan nilai keluhuran. Jangan sampai hakim bisa sewenang-wenang. Karena hakim ini sebagai salah satu unsur peradilan yang memiliki kewenagan yang luar biasa. Misalnya hakim dapat memutuskan sah atau tidaknya sesuatu dan dapat menghilangan hak hidup. Hal ini tidak dapat dibiarkan tanpa adanya pengawasan, hakim perlu lembaga yang mampu mengawasi. Peran Komisi Yudisial disinilah yang cukup berperan penting.” pungkas Masruhan. (KY/Halimatu&Annisa/Festy)


Berita Terkait