CHA Nani Indrawati: Minimalisir Polemik HaKI, Perlu Sosialisasi Bagi Pelaku Bisnis
Calon hakim agung terakhir di hari pertama Senin, (25/4) adalah Wakil Pengadilan Tinggi Pontianak Nani Indrawati.

Jakarta (Komisi Yudisial) - Calon hakim agung terakhir di hari pertama Senin, (25/4) adalah Wakil Pengadilan Tinggi Pontianak Nani Indrawati. Salah satu panelis bertanya mengenai sengketa perlindungan hukum terhadap pemilik  Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI) yang dalam karya tulis calon dinyatakan banyak ditemui kelalaian.

 

Diungkapkan calon, permasalah ini dilatar belakangi oleh ketidaktelitian pihak Dirjen HaKI serta masyarakat Indonesia sendiri yang belum melek hukum.

 

"Artinya sebenarnya perlu sosialisasi yag dilakukan oleh Dirjen HaKI untuk memberikan suatu pemahaman bagi masyarakat pembisnis menengah kebawah yang tidak memiliki lawyer, dan berpengetahuan minim yang pemilik hak atas kekayaan intrelektual tetapi disabot orang lain pelaku usaha pesaingnya yang menginginkan dalam waktu cepat mengambil hak orang lain. Sedangkan dia tidak tahu bahwa haknya itu harus didaftarkan" ungkap Nina.

 

Menyebrang dari polemik HaKI, Anggota KY Amzulian Rifai mengangkat pembahasan mengenai problematika lahan sekaligus silang sengkarut lahan kepemilikan Panelis menanyakan bagaimana aktivitas pertambangan yang bukan hanya tidak menghargai masyarakat lokal tetapi kerusakan lingkungan cukup serius.

 

Dalam hal ini, negara memiliki kewajibkan menerapka  konstitusi seperti pada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yang memberi pelindungan terhadap lingkungan, tidak terkecuali juga bagi para penegak hukum.

 

“Penegak hukum yang menangani harus berpihak pada lingkungan, kalau kami mengatakan in dubio pto natura bahwa lingkungan harus diutamakan lebih dari yang lain,” tutur Nani.

 

Amzulian kembali mempertanyakan mengenai posisi calon dalan perlindungan pada masyarakat lokal yang tidak memilki bukti-bukti tertulis, bila dihadapkan dengan perusahan memiliki dokumen-dokumen yang dengan caranya sendiri. Calon membenarkan bahwa praktik-praktik perkara sengketa lahan memang kerap ditemui."Sepanjang tanda kepemilikan itu sah ketika membeli secara adat tunai, terang dan di depan lurah atau kepala desa setempat, itu tetap kita pegang bahwa dia adalah pemilik yang sah." ujar Nani.

 

Calon kembali melanjutkan bahwa meski sertifikat merupakan akta otentik namun sertifikat yang 'aspal' atau asli yang palsu tidak menjamin kepemilikan yang sah. Hal ini disebabkan karena adanya sertifikat ganda sering terjadi dalam kasus sengketa kepemilikan lahan. (KY/Halima/Festy)


Berita Terkait