Jakarta (Komisi Yudisial) – CHA kedua yang diwawancara adalah Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Tanjungkarang Catur Iriantoro. Catur ditanyakan terkait Pasal 52 KUHAP, dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim. Catur menjawab bahwa tersangka dan terdakwa dijamin memberikan keterangan secara bebas, artinya terdakwa mengaku pun harus disertai dengan alat bukti.
Pengakuan tidak cukup dianggap sebagai bukti. JPU harus melengkapi alat bukti lain. Ada hak terdakwa untuk menjamin hak asasi tersangka, yang mana terdakwa tidak serta merta mengakui atau menyangkal.
“Artinya penyidik dalam melakukan penyidikan tidak diperkenankan memberikan tekanan demi untuk mencari pengakuan tersangka. Hakim juga ada larangan memberikan pertanyaan yang menjerat, pertanyaan yang menyimpulkan tidak diperkenankan. Yang menjerat ini tersangka tidak sadar, jawaban iyanya hal yang menentukan dalam suatu perkara tersebut,” ujar Catur.
Catur diminta pandangannya terkait isu terorisme di Indonesia. Catur membuka dengan menyatakan terkait terorisme perlu disampaikan bahwa di Indonesia sudah ada undang-undangnya, yaitu UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. Terorisme sendiri semula berawal dari konferensi internasional di tahun 1977, Indonesia sebagai negara anggota PBB mengikuti. Indonesia telah meratifikasi ketentuan konvensi tentang terorisme.
“Mungkin tadi kita singgung asas legalitas, untuk terorisme bisa berlaku surut. Misal di kasus Bom Bali, undang-undangnya belum ada. Kita terbitkan Perpu, kemudian jadi UU,” jelas Catur.
Masalah terorisme ini memang berkembang terutama di negara-negara yang sedang berkonflik. Kadang cap terorisme adalah agama. Ini yang mebuat hakim berhati-hati menentukan apakah ini tindak pidana, atau dalam rangka terorisme. Mengapa terorisme seolah banyak, karena terorganisasi, kemudian dampak ataupun yang menjadi korbanya tidak ditarget, tapi acak saja.
“Targetnya publisitas itu sendiri, supaya organisasi punya nama, disampaikan publik kejahatannya, teror bukan target utama. Lebih ingin mendapat pengakuan publik,” ujar catur.
Catur pernah bertugas di PN Medan, juga menangani perkara limpahan dari Aceh. Jika disidangkan di Aceh, suasananya berbeda, sehingga MA melimpahkan ke PN Medan. Ketika Catur bertugas, turut menangani perkara yang demikian. Ada yang berusaha merubah ideologi negara, misalnya isu tentang khilafah, amar makruf nahi mungkar. Sehingga ingin ada ideologi tertentu yang ingin ditegakan, bersanding, atau melawan ideologi Pancasila.
“Suatu aktivitas dikatakan terorisme terorganisir, dibangun jaringan dahulu. Ini sudah termasuk langkah awal, ke arah teror. Pada langkah awal sudah ada mens rea, niatnya untuk apa. Makanya banyak, meskipun belum sampai teror sudah kena perbuatan persiapan, atau mengarah ke teror yang sesungguhnya,” pungkas Catur. (KY/Noer/Festy)