CHA Eddy Parulian Siregar: Sikap Humanis dan Dialog Tangkal Radikalisme
Calon Hakim Agung (CHA) kedua yang mendapat kesempatan untuk diwawancara pada hari ketiga, Kamis (5/8) adalah Eddy Parulian Siregar, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Ambon.

Jakarta (Komisi Yudisial) - Calon Hakim Agung (CHA) kedua yang mendapat kesempatan untuk diwawancara pada hari ketiga, Kamis (5/8) adalah Eddy Parulian Siregar, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Ambon.

 

Pada kesempatan tersebut Eddy ditanyakan pandangannya tentang radikalisme. Eddy menjawab bahwa dia kebetulan menangani kasus bom Bali 1 dan 2. Hakim yang memeriksa perkara di sana dianggap sebagai thogut oleh terdakwa dan pendukungnya. Ada anggota mejelis hakim yang membacakan ayat dari Al-Quran dalam pemeriksaan di persidangan, tapi dipelototin. Eddy menganggap hal tersebut sebagai keprihatinan bersama, karena ideologi luar yang salah masuk ke Indonesia. 

 

Akhirnya Eddy dan majelis hakim yang memeriksa menghadirkan diri sebagai hakim yang humanis. Bersama-sama sepakat membuat puisi, untuk meneduhkan paham orang yang sudah tersesat tersebut. Judul puisi yang dibuat Siregar adalah “Matahari Berdarah di Pantai Kuta”, dan dibacakan dalam persidangan. Anggota hakim majelis yang lain membuat dan membacakan puisi buatan mereka sendiri.

 

“Akhirnya mereka teduh pak. Walaupun dihukum mati dan seumur hidup, mereka tidak melawan,” cerita Eddy.

 

Eddy mendapatkan data hasil penelitian Yenny Wahid Institute, bahwa pelajar SMA sudah terpapar paham radikalisme. Artinya bukan cuma tingkat mereka yang sudah dewasa. Di sinilah sensitivtas dari aparatur negara, khususnya hakim untuk bertukar pemikiran dalam bentuk diskusi. Karena Eddy melihat dan mendengar, ada teman dari insititusi lain, tapi omongannya mengganggu rasa dalam diri Eddy. Seperti pernyataan “Itukan halal darahnya”.

 

“Saya berfikir kok bisa begini. Jadi saya terus-terang nggak bisa diam. Akhirnya dalam berbagai pertemanan saya, kalau ada yang sedikit keras, saya tidak bisa diam karena ini menyangkut harga diri bangsa Indonesia,” beber Eddy.

 

Eddy mengajak temannya yang keras untuk beberapa kali melakukan berdialog. 

 

“Jadi kita perlu dialog yang panjang, tidak cukup sekali. Terkadang teman saya heran, kenapa mau meladeni begitu. Menurut saya hakim tidak boleh cuma memberi putusan, tapi bagaimana selaku bersikap yang humanis,” ujar Eddy.    

 

Tolak ukur radikalisme masih menjadi bahan perdebatan. Penggunaan istilah ini dalam filsafat berarti berfikir sampai ke akar-akarnya.

 

“Tapi sebenarnya bisa kita ukur dari, karena saya tidak membidangi kemanan nasional, dari ucapan-ucapan itu kalau sudah mengkhawatirkan, sense of justice dari saya akan muncul dan tidak membiarkan,” pungkas Eddy. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait