CHA Slamet Sarwo Edy: Kejahatan Muncul Bisa di Mana Saja, Termasuk TNI
Hari keempat pelaksanaan wawancara terbuka calon hakim agung, CHA pertama yang mendapat kesempatan untuk diwawancara adalah Brigjen TNI Slamet Sarwo Edy, Ketua Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta.

Jakarta (Komisi Yudisial) - Pada hari keempat, Jumat (6/8), seleksi Wawancara Terbuka diikuti tiga orang Calon Hakim Agung (CHA) untuk Kamar Militer dan dua orang CHA untuk kamar Perdata. Adapun panelis negarawan adalah Rektor Universitas Andalas Yuliandri dan panelis keilmuan hukum adalah Ketua Kamar Militer Mahkamah Agung (MA) Burhan Dahlan. 

 

CHA pertama yang mendapat kesempatan untuk diwawancara adalah Brigjen TNI Slamet Sarwo Edy, Ketua Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta. Dalam kesempatan tersebut, Slamet menceritakan pengalamannya sebagai Panitera Muda Militer Mahkamah Agung (MA). Jika berbicara statistik atau angka, secara umum dari tahun 2018 selama tiga tahun berturut-turut, penumpukan perkara di MA menurun. Hal tersebut dapat dilihat dari laporan tahunan MA. Perkara yang sampai ke MA 90 persen disertai pemecatan. 

 

Di tahun 2018 perkara yang paling tinggi diminta kasasi adalah perkara narkotika. Bahkan jumlah perkaranya bisa 85 persen dari keseluruhan perkara yang masuk untuk kasasi. Kedua desersi, perbuatan lari meninggalkan dinas ketentaraan. Baru berikutnya ada pelanggaran yang merata, ada pelanggaran kesusilaan. Karena memang kasus kesusilaan di lingkungan TNI pada umumnya dipecat. Berikutnya baru pelanggaran yang lain.

 

Slamet berpandangan bahwa kejahatan itu muncul bisa di mana saja, dengan begitu tidak terbatas dengan masyarakat biasa, tapi prajurit TNI juga. Sekalipun prajurit TNI sudah dibekali dengan disiplin yang tinggi oleh kesatuannya. Kejahatan terjadi pertama karena ada kesempatan. Kedua karena ada niat yang bersangkutan. Kedua unsur ini yang dimiliki oleh para pelanggar tindak pidana.

 

“Bisa terjadi, ini kaitannya dengan pembinaan kesatuan. Pembinaan kesatuan harus terus-menerus dilakukan. Namun pembinaaan terus-menerus, namanya niat kejahatan banyak faktornya. Faktor ekonomi, mungkin faktor lain yang menyebabkan niat timbul, lalu ada kesempatan,” jelas Slamet.

 

Sebagai contoh gaji prajurit TNI mungkin sama dengan ASN, tapi mungkin tugas merasa tidak bisa mengelola penghasilannya, sehingga kekurangan terus. Melihat sesuatu yang bernilai ekonomi yang bisa diambil, bisa melakukan pencurian.

 

“Jadi tidak bisa satuan dan komandan satuan itu mengawasi 24 jam. Karena menyangkut hati nurani prajurit,” tambah Slamet.

 

Masalah utama di MA adalah minutasi. Bahkan terjadi Kamar Militer. Di mana di tahun 2018 ada minutasi yang lebih dari satu tahun, walaupun sekarang sudah tidak ada lagi terjadi. Untuk mencari penyebab dan solusinya, Slamet mengumpulkan panitera pengganti untuk berdiskusi mengapa bisa terjadi, dan disampaikan hasilnya ke Ketua kamar Militer. Minutasi di Kamar Militer yang terlambat tidak banyak, karena sudah aturan MA penyelesaian perkara ada batasnya, dan kasus militer juga tidak banyak.

 

“Tapi ada beban hakim agung di Kamar Militer karena tidak melulu menyidangkan perkara militer, ternyata ada juga perkara dari peradilan umum. Mungkin karena ada beban yang lebih dari yang diharapkan,” ujar Eddy. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait