CHA Tama Ulinta Br Tarigan: Pemerintah Anggap Peradilan Bukan Lembaga Esensial
Calon Hakim Agung (CHA) kedua yang mendapat kesempatan untuk diwawancara pada hari keempat, Jumat (6/8) adalah Tama Ulinta Br Tarigan, Wakil Kepala Pengadilan Militer Utama.

Jakarta (Komisi Yudisial) - Calon Hakim Agung (CHA) kedua yang mendapat kesempatan untuk diwawancara pada hari keempat, Jumat (6/8) adalah Tama Ulinta Br Tarigan, Wakil Kepala Pengadilan Militer Utama.

 

Untuk meningkatkan pelayanan publik selama pandemi covid-19 ini, Mahkamah Agung (MA) sudah beberapa kali mengeluarkan instruksi sidang secara elektronik, dan sudah dilaksanakan termasuk di pengadilan militer. Tarigan menganggap pemerintah di masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) tidak menganggap lembaga peradilan sebagai lembaga esensial.  Bagi lembaga esensial, diizinkan untuk bekerja dari kantor sebanyak 50 persen dari jumlah personil. Pemerintah menurut Tarigan mungkin kurang memperhatikan efek dari hal tersebut. Sidang ada yang ditahan, dan peradilan mengutamakan tidak lama-lama menahan seseorang.

 

“Sehingga sesuai dengan surat dari Sekretaris MA, bahwa untuk peradilan itu maksimal diisi 25 persen dari personil. Dan itu yang kita laksanakan sesuai dengan instruksi Sekretaris MA. Jadi dari situ kita tidak termasuk lembaga yang esensial,” ujar Tama Ulinta.

 

Tama Ulinta ditanyakan asas audi et alteram partem, asas hakim harus mendengarkan kedua belah pihak. Apakah asas tersebut bisa diterapkan di tingkat kasasi, karena hakim hanya memeriksa berkas? Tarigan menjawab walaupun sebagai hakim agung hanya memeriksa judex juris, menurut Tarigan asas tersebut masih relevan untuk diterapkan karena dalam berkas-berkas tersebut tentu bisa melihat ada memori kasasi, ada kontra memori kasasi, yang harus dipertimbangkan secara seimbang oleh hakim. Jadi, walaupun misalnya MA tidak memanggil para pihak, kecuali dalam keadaan tertentu, tapi dapat dilihat dari berkas-berkas yang ada.

 

“Saya bisa jelaskan bahwa dalam membuat pertimbangan itu tentu dengan melihat pertimbangan terkait apa yang disampaikan dalam memori kasasi maupun kontra memori kasasi tersebut. Kedua belah pihak harus diterima dan dipertimbangkan secara matang oleh hakim tersebut,” jelas Tama Ulinta.

 

Tama Ulinta juga ditanyakan tentang pengawasan oleh KY dan MA. Dalam UU tidak diatur pembagian yang tugas terkait pengawasan antara KY dengan MA, sehingga sering terjadi overlapping antara kewenangan eksternal maupun internal. Tapi dalam peraturan bersama antara MA dan KY, terjadi pembagian kewenangan. Tetapi juga tidak terlalu signifikan pembagian itu, seperti itu yang Tarigan pahami. Tarigan menawarkan konsep agar KY dan MA lebih kolaboratif, dimulai dari membuat peraturan bersama baru. Khususnya yang terkait bahwa KY dan MA sama-sama tidak boleh menilai benar atau salah pertimbangan putusan maupun substansi dari putusan itu. Demikian juga terhadap BAP, kecuali apabila di sana ada kesengajaan terjadinya kekeliruan.

 

“Jadi menurut saya perlu duduk bersama untuk membuat peraturan bersama yang baru. Kalau memang putusan dan BAP itu di dalamnya memang ada kemungkinan terjadinya pelanggaran perilaku, oleh karena itu KY bisa masuk ke dalamnya terkait dengan pelanggaran kode etik,” pungkas Tama Ulinta. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait