CHA Berlian Napitupulu: Asas Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan Masih Penuh Tantangan
CHA pertama yang mendapat kesempatan untuk diwawancara pada hari terakhir adalah Berlian Napitupulu, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Jambi.

Jakarta (Komisi Yudisial) - Pada hari terakhir, Sabtu (7/8), empat orang Calon Hakim Agung (CHA) untuk Kamar Perdata mengikuti Seleksi Wawancara di Komisi Yudisial (KY). Adapun panelis negarawan adalah Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar, dan mantan Hakim Agung  (MA) Mohammad Saleh. CHA pertama yang mendapat kesempatan untuk diwawancara adalah Berlian Napitupulu, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Jambi.

 

Berlian ditanyakan mengenai asas sederhana, cepat, biaya ringan, apakah telah terlaksana di peradilan perdata? Berlian menjawab bahwa hal tersebut masih tantangan. Selaku hakim karier yang bertugas sejak tahun 1991, asas ini didengungkan dan dipegang tinggi. Namun dalam praktiknya, terutama karena faktor geografis negara Indonesia, kemungkinan besar dapat tercapai sekitar 50-60 persen. Sebab jarak akan mempengaruhi kecepatan proses sidang dan biaya yang dikeluarkan. Namun seiring dengan perkembangan dan banyak pembangunan infrastruktur yang dibangun, penanganan kasus perdata agak meningkat. Asas tersebut dapat diterapkan hingga 80 persen. Semenjak tahun 2014, ada SEMA yang mengatur tentang penanganan perkara perdata dan pidana untuk pengadilan negeri tidak boleh lebih melebihi waktu tertentu.

 

“Namun saya harus jujur, walaupun demikian juga, ada saja kendala. Banyak faktor bahwasanya negara kita ini, kadang tergugatnya atau kuasanya bertempat tinggal di luar wilayah hukum di mana kita sidang,” jelas Berlian.

 

Berlian disinggung peradilan yang tidak menerima perkara perdata. Apa karena kurangnya kepercayaan peradilan pada publik, atau soal manajemen peradilan? Berlian menjawab bahwa mungkin alasan pertama, memang pada tahun 2019 ada pengadilan yang baru berdiri. Kalau tidak salah hampir tujuh puluhan, dan di daerah terpencil sekali. Bahkan ketika Berlian meninggalkan Ambon masih ada pengadilan yang kontrak atau sewa kantor karena gedungnya belum ada. Kedua, dalam satu tahun tidak menerima perkara perdata sama sekali, sepertinya tidak masuk akal. Kalau itu memang terjadi, kemungkinan terjadi di daerah terpencil yang msih awam dengan dunia peradilan.  

 

“Saya berpandangan masalah kepercayaan masyarakat  Indonesia kepada dunia peradilan, saya tidak mau munafik, saya harus jujur, memang masih banyak pandangan masyarakat kita yang melihat dan berpendapat tentang dunia peradilan ini bagi mereka kurang. Tapi dalam kaitannya dengan tidak adanya perkara, saya kurang terima,” ujar Berlian.

 

Berlian setuju bahwa kebijakan pembentukan pengadilan baru mempengaruhi jumlah perkara yang masuk ke pengadilan menjadi sedikit. Contohnya di Maluku ada satu pengadilan dipecah menjadi tiga pengadilan. Otomatis banyak membuat orang tidak banyak berkerja. Karena tadinya di wilayah satu pengadilan harusnya sepuluh perkara setahun, dipecah jadi tiga, tambah sedikit perkaranya. Jadi itu juga masuk dalam alasan, walaupun tidak sepenuhnya.

 

“Jika terpilih sebagai hakim agung dan diberi satu wewenang untuk mengambil kebijakan, untuk beberapa pengadilan yang kurang perkara itu akan saya kembalikan. Karena itu akan mengambil biaya yang banyak. Satu pengadilan dibagi tiga, berarti tambah dua. Perlu lahan. Sementara SDM-nya itu-itu juga. Kalaupun tambah SDM tambah satu dua, sedangkan ruang peradilan ada perdata, pidana, dan bermacam-macam. Peradilan yang baru dibangun di daerah itu banyak kekurangan SDM, dan itu salah satu faktor juga menjadi kurangnya kepercayaan masyarakat,” kata Berlian. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait