CHA Ennid Hasanuddin: Membicarakan Putusan Seorang Hakim Lumrah
Calon Hakim Agung (CHA) kedua yang mendapat kesempatan untuk diwawancara pada hari terakhir, Sabtu (7/8), adalah Ennid Hasanuddin , Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Banten.

Jakarta (Komisi Yudisial) - Calon Hakim Agung (CHA) kedua yang mendapat kesempatan untuk diwawancara pada hari terakhir, Sabtu (7/8), adalah Ennid Hasanuddin , Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Banten. Ennid menyampaikan bahwa hakim harus peka secara sosial, tidak hanya belajar hukum, tapi juga belajar tentang kondisi-kondisi masyarakat. Pengetahuan hakim di luar berkas boleh dibawa ke dalam berkas? Menurut Ennid sangat boleh. Itu menunjukan bahwa hakim memiliki kepekaan sosial dari lingkungan. 

 

Ada beberapa anekdot yang menyatakan bahwa hakim bukan alat pemuas untuk masyarakat. Menurut Ennid itu tidak tepat, karena hakim harus memberikan kepuasan dalam bentuk keadilan kepada masyarakat. Paradigma ini harus diubah pada diri seorang hakim. Misalnya tentang tidak boleh mengomentari putusan.

 

“Menurut saya m, membicarakan putusan seorang hakim itu sah-sah saja agar ada persamaan perspektif. Mungkin ada batasan-batasan, yang didiskusikan itu putusan yang sudah telah berkekuatan hukum tetap). Namun begitu pun harus ada pengaturan kembali tentang ketidakbolehan mendiskusikan. Ini salah satu paradigma yang harus berubah,” ujar Ennid.

 

Ennid dalam kesempatan tersebut menjabarkan bahwa minutasi merupakan permasalahan di tingkat MA. Di PN dan PT ada tiga masalahnya. Delegasi, minutasi, dan eksekusi. Kebetulan Ennid sebagai hakim pengawas daerah, di mana-mana pasti bertemu ketiga tersebut. Solusi yang Ennid tawarkan, adalah pertama penghitungan kembali beban kerja hakim.

 

“Kemarin saya dengar macetnya ada di hakim agung dan ada di operator. Dihitung kembali beban kerja hakim perhari, perminggu, perbulan berapa yang ideal. Karena kaitannya dengan kualitas putusan. Jadi bukan percepatan atau waktu saja, tapi juga berkualitas. Caranya seperti apa? Mungkin kalau cuma hitungan seperti tadi, beban kerja secara konsep bisa cepat, tapi berkas tiap hari masuk. Ini menyebabkan teori beban kerja menjadi tidak artinya,” beber Ennid.

 

Oleh karena itu, saran kedua yang Ennid tawarkan adalah membatasi adanya perkara-perkara masuk. Untuk perkara perdata yang nilainya semiliar atau lebih, baru boleh kasasi. Ini akan mengurangi jumlah perkara di MA, dan otomatis akan mengurangi minutasi. Ketiga, yang Ennid pikirkan adalah menaikan gugatan sederhana dari 500 juta, menjadi satu sampai dua miliar. Dengan demikian perkara yang di bawah dua miliar ini tidak akan kasasi lagi, cukup sampai di tingkat PA atau di tingkat PN.

 

Berikutnya restorative justice harus dikembangkan secara lebih luas dan lebih tegas. Dalam Pasal 60 UU Kehakiman sudah diatur, juga di berbagai peraturan yang lain. Begitu pula dalam RKUHP, sangat membuka kesempatan restorative justice. Sehingga dengan demikian otomatis perkara ke MA semakin berkurang. Dengan demikian juga lembaga pemasyarakatan (LP) yang hampir semua over capacity, 2-3 tahun ke depan, bisa banyak yang kosong.

 

“Oleh karena itu tinggal selangkah lagi, mohon diintegrasikan antara RKUHP, Perma tentang pidana ringan, dan peraturan lainnya dengan catatan. Diitingkatkan bahwa hal-hal yang bisa di-restorative justice adalah pidana-pidana yang berhubungan dengan manusia. Sehingga di sana ada unsur pemaafan, ada unsur ganti rugi, dan lain-lain. Karena sering terjadi walaupun dalam perkara lalu lintas, sering mereka melakukan perdamaian. Tapi tidak menghapus perkara atau putusan,” ungkap Ennid. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait