KY Gelar Diskusi Independensi dan Akuntabilitas Peradilan
Komisi Yudisial (KY) menggelar diskusi media berjudul Antara Independensi dan Akuntabilitas Peradilan, Rabu (8/3) di Restoran Handayani Prima, Jakarta.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Komisi Yudisial (KY) menggelar diskusi media berjudul Antara Independensi dan Akuntabilitas Peradilan, Rabu (8/3) di Restoran Handayani Prima, Jakarta. Hadir sebagai pembicara mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Harjono, Anggota Komisi III DPR RI M. Nasir Djamil, dan Direktur Advokasi Pusat Kajian Anti Korupsi UGM Oce Madril dengan moderator Erwin Natosmal yang merupakan peneliti dari ILR.

 

Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil menjelaskan bila akuntabilitas peradilan bukan hal baru di dunia peradilan. Namun sayangnya, praktik peradilan hanya berfokus pada penguatan independensi. Padahal, di mana ada independensi, di situ pula terdapat akuntabilitas yang sama penting untuk diperjuangkan.

 

“KY lahir untuk menjaga dan mengawasi lembaga peradilan. Tidak ada lembaga setelah reformasi tidak diawasi dan tidak dibatasi. Namun pengawasan tersebut tidak boleh mengganggu kinerja lembaga yang diawasi,” lanjut anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera ini.

 

Ada empat kritik terhadap peradilan, lanjut Nasir, yaitu moralitas, profesionalitas, budaya hukum, dan independensi hakim.

 

"Dalam memutus perkara, putusan harus bisa dipertanggung-jawabkan. Itulah mengapa  akuntabilitas penting, karena mereka eksklusif," paparnya.

 

Pembicara lainnya, Oce Madril juga menggaris-bawahi pentingnya akuntabilitas. Menurutnya, peradilan telah menuju independensi hakim. Sehingga untuk menjaga akuntabilitas, maka idealnya diserahkan ke KY.

 

Setelah reformasi, afirmasi lembaga peradilan diubah menjadi penegakan independensi hakim dan agar lembaga peradilan dipercaya oleh publik. Independensi hakim sudah mulai berjalan. Namun bagaimana membuat lembaga peradilan menjadi berwibawa dan dipercaya masih jalan di tempat.

 

“One roof system menurut saya sudah melahirkan tirani yang baru. Permasalahan public distrust karena banyak kasus yang menerpa lembaga peradilan dan adakalanya terlihat tidak independen. Bagaimana membuat public distrust menurun, maka penyebabnya harus disisir satu persatu,” papar alumnus Universitas Gadjah Mada ini.

 

Sementara Harjono memandang independensi adalah jaminan untuk terlindunginya hak asasi manusia. Menurutnya, independensi seorang hakim itu bukan hak, tetapi hal yang wajib. Ia menyarankan pentingnya merekonstruksi makna independensi hakim.

 

Para pembicara tersebut memberikan tawaran solusi atas masalah tersebut. Nasir Djamil perlunya ada harmonisasi regulasi dan perbaikan budaya hukum. Sementara Oce Madril menekankan proses identifikasi masalah, mulai kompetensi dan behavior.

 

“Lakukan pula evaluasi. Misalnya terkait penanganan RUU Jabatan Hakim. Menurut saya belum menjadi prioritas dan prosesnya masih sangat lambat. Sudah saatnya agenda reformasi dilanjutkan,” ucap Oce.

 

Sementara Harjono menekankan pentingnya redesain kekuasaan kehakiman. “Arah pembicaraan sekarang masih parsial, sehingga belum bisa memperbaiki kekuasaan kehakiman secara komprehensif. Desain harus jelas dan diikuti dengan pelaksanaannya,” pungkas Harjono (KY/Noer/Festy)

 


Berita Terkait