Ketua Bidang Pencegahan dan Peningkatan Kapasitas Hakim KY Joko Sasmito di hadapan peserta workshop Workshop Tindak Pidana Pemilu Bagi Hakim Peradilan Umum pada Jumat (25/03).
Manado (Komisi Yudisial) - Komisi Yudisial (KY) bekerjasama dengan Mahkamah Agung (MA) menyelenggarakan Workshop Tindak Pidana Pemilu Bagi Hakim Peradilan Umum pada Senin- Jumat, 25-29 Maret 2019 di Hotel Aryaduta, Manado. Kegiatan diikuti oleh 38 orang hakim, yang terdiri dari 12 orang Hakim Tinggi dan 26 orang dari Pengadilan Negeri. Narasumber berasal dari Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP), Tim dari Balitbang Diklat Kumdil MA, dan Ketua Bidang Pencegahan dan Peningkatan Kapasitas Hakim KY Joko Sasmito.
“Walaupun materi yang saya sampaikan bukan soal Pemilu, tapi karena ini pelatihan KY harus tetap ada unsur etiknya. Jika etik sudah bagus, UU tidak perlu dibuat banyak lagi. Misalnya di Jepang, pelanggaran kode etiknya nol. Memang tidak bisa dibandingkan dengan keadaan di Indoensia, tapi dapat digunakan sebagai pembelajaran,” ujar Joko di hadapan peserta workshop pada Jumat (25/03).
Di Jepang sejak TK mereka sudah diajarkan tentang etik, sehingga saat dewasa dan masuk ke dunia kerja telah punya dasar etika.
“Kalau dulu di jaman saya ada pelajaran budi pekerti, tapi sayang sekali sekarang sudah tidak ada. Oleh karena itu, kami akan mengundang narasumber dari Jepang untuk pelatihan etik hakim, Insya Allah di pelatihan berikutnya mereka bisa hadir,” buka Joko.
Jumlah pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) di Indonesia banyak karena jumlah hakim dan pengadilan di Indonesia juga banyak. Tapi persentase dari jumlah laporan yang diproses oleh KY masih kecil dibandingkan dengan jumlah laporan masyarakat. Walaupun persentasenya kecil, tapi hal itu tetap memunculkan ketidakpercayaan terhadap lembaga peradilan.
“Saya sempat diskusi dengan hakim tinggi, sesuatu yang dianggap salah satu penyebab banyaknya pelanggaran adalah budaya hukum untuk mengingatkan teman kita. Sebenarnya kita tahu ada teman kita yang perilakunya kurang pas, tapi kita tidak enak untuk mengingatkan. Padahal jika tidak dilakukan, kawan kita bisa jadi kebablasan. Kita bisa mengingatkan lewat mekanisme melalui atasan jika tidak enak,” ungkap Joko.
Salah satu diskusi menarik adalah saat Joko blak-blakan berbicara soal pelanggaran yang paling sering yang dilakukan oleh hakim.
“Pelanggaran paling sering adalah salah ketik. Walaupun tidak sepenuhnya salah hakim, tapi hakim tentu saja harus bertanggung jawab terhadap isi putusan. Ada banyak yang ditemukan konsep putusan yang copy paste. Kesalahan lainnya adalah tertidur atau bermain HP saat bersidang. Jadi saya sarankan untuk peserta yang hadir agar lebih mawas diri dalam bersidang, karena masyarakat sekarang semakin pintar dalam membuat alat bukti pelanggaran KEPPH,” tutup Joko. (KY/Noer/Festy)