CHA Dwiarso Budi Santiarto: Pengurangan atau Penambahan Pidana Itu Lumrah, Asalkan Sesuai Ketentuan
Calon Hakim Agung (CHA) kedua yang diwawancara pada hari pertama Selasa (3/8) adalah hakim tinggi dan Kepala Badan Pengawas Mahkamah Agung (MA) Dwiarso Budi Santiarto.

Jakarta (Komisi Yudisial) - Calon Hakim Agung (CHA) kedua yang diwawancara pada hari pertama Selasa (3/8) adalah hakim tinggi dan Kepala Badan Pengawas Mahkamah Agung (MA) Dwiarso Budi Santiarto. Dalam kesempatan tersebut, Budi menyampaikan bahwa penyebab disparitas yang terjadi di peradilan Indonesia dan menyebabkan tidak terpenuhinya rasa keadilan dalam masyarakat adalah sistem hukum Indonesia yang tidak menganut asas preseden. Asas preseden mengandung pengertian bahwa seorang hakim dalam memutus perkara tidak boleh menyimpang dari hakim yang lain, baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi.

 

Sedangkan di Indonesia hakim dalam memutus perkara tidak perlu mengikuti putusan hakim yang sebelumnya. Akibatnya putusan peradilan pidananya naik turun, mengakibatkan terpidana mempermainkan hukum, dan berkurangnya rasa keadilan dalam masyarakat.

 

“Sebenarnya sudah ada upaya dari MA untuk mengurangi disparitas putusan. Dengan menyusun SEMA dan PerMA terkait kasus korupsi. Bahkan sistem kamar di MA dibuat untuk mengurangi disparitas putusan,” jelas Budi.

 

Terkait isu-isu pengurangan atau korting putusan, Budi berpendapat bahwa pengurangan atau penambahan pidana itu lumrah, asalkan sesuai ketentuan yang ada. Seperti dalam perkara korupsi, dalam menjatuhkan pidana harus memenuhi beberapa kriteria. Jika kriteria tersebut tidak terpenuhi, diperbaiki di tingkat yang lebih tinggi.

Kecenderungan turunnya pidana korupsi, Budi tidak bisa berkomentar karena belum membaca putusan yang menjadi pembicaraan. Budi meyakini hakim pasti sudah memberikan pertimbangan dalam memberikan putusan.

 

“Berita juga sering kali tidak lengkap, sehingga masyarakat hanya melihat ada pengurangan. MA sudah mencatat, putusan yang mengurangi pidana hanya sekian persen. Informasi yang diterima masyarakat tidak lengkap,” tambah Budi.

 

Untuk itu hakim harus memiliki dua faktor yang ada dalam dirinya, yaitu integritas dan profesionalitas.

 

“Hakim tidak memiliki integritas, maka akan gampang tergoda dalam membuat putusan. Profesional, jika tidak meng-upgrade dirinya dengan pengetahuan hukum terbaru akan terjadi disparitas,” pungkas Budi. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait