CHA Catur Iriantoro: Yurisprudensi Solusi Disparitas Putusan
Calon Hakim Agung (CHA) kedua yang diwawancara Rabu (4/8) adalah Catur Iriantoro, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Tanjung Karang.

Jakarta (Komisi Yudisial) - Calon Hakim Agung (CHA)  kedua yang diwawancara Rabu (4/8) adalah Catur Iriantoro, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Tanjung Karang.

Catur ditanya apa kendala bagi peradilan Indonesia untuk mendapatkan publik confidence? Catur menjawab pada dasarnya ada tiga hal yang dikeluhkan oleh publik terkait lembaga peradilan. 

 

Pertama adalah akses keadilan. Kedua penyelesaian perkara lama, tidak cepat. Padahal ketidakcepatan sama halnya dengan ketidakadilan. Ketiga masalah integritas hakim dan perangkat peradilan.

 

“Disadari atau tidak, ketiga hal ini dalam lembaga peradilan sering menjadi masalah. Bahkan menurunkan kepercayaan publik. Tentunya inilah yang harus diperbaiki. Dengan perbaikannya, barang kali akan menaikan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan,” kata Catur.  

 

Penjatuhan pidana di di Indonesia masih menjadi masalah. Di negara lain jarang terjadi mungkin karena seperti Australia, ada UU tentang pemidanaan. Hal ini yang menyebabkan disparitas putusan di Indonesia sering terjadi. Sebab sebagai hakim bergerak di antara minimal dan maksimal pidana sesuai UU. Catur tidak tahu di suatu perkara ada penyunatan pidana atau tidak, tapi sepanjang hukumnya mengatur hukuman minimalnya sedemikian, tentu harus tunduk kepada ketentuan yang minimal.

 

“Kecuali tentunya ada keberpihakan yang terselebung. Jadi sebetulnya berpihak, tapi seolah-olah tidak cermat dalam menjatuhkan putusan,” buka Catur.

 

Saat di tingkat kasasi juga menjadi masalah, karena penjatuhan pidana itu adalah wewenang dari judex facti. Sementara kalau melihat syarat-syarat pengajuan kasasi itu adanya kekeliruan hukum, atau syarat yang tidak terpenuhi, atau dia melampui batas wewenang. Itu yang dinilai oleh majelis tingkat kasasi.

 

“Jadi sebenarnya itu masih merupakan suatu masalah, karena seharusnya ada hukum dan UU yang mengatur tentang penjatuhan pidana itu sendiri,” ujar Catur.

 

Dalam kesempatan tersebut Catur menyinggung solusi disparitas yang ditulis dalam karya ilmiahnya yaitu  menggunakan yurisprudensi. Tulisan Catur berangkat dari bahwa suatu UU atau hukum tertulis tidak mungkin mewadahi semua hal terkait dengan suatu perkara. Oleh karenanya, tugas hakim harus melengkapi. Selain itu, hakim juga punya kewajiban menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum. Ada adegium yang menyebut bahwa terhadap hal-hal yang sama, harus diperlakukan sama, terhadap hal yang berbeda harus diperlakukan berbeda. Kalau memang persitiwanya sama dengan yang terdahulu, kenapa tidak mengambil saja putusan yang sudah ada dari hakim yang terdahulu. 

 

Walaupun di Indonesia mengenai yurisprudensi tidak berlaku preseden, tapi berlaku persuasif, menurut hemat Catur tentunya ada keterikatan, baik mengenai etis maupun praktis. Tidak hanya mengenai substansi hukum, tapi pidananya juga sudah dipertimbangkan oleh hakim tingkat kasasi.

 

“Sekalipun kita juga memang punya ukuran mengenai berat ringan dari pemidanaan yang kasuistis, tapi kita juga belum punya UU pemidanaan seperti di negara lain. Karena belum ada aturannya, pemidanaannya bisa bermacam-macam, artinya bergerak di antara maksimal dan minimal. Jadi menurut hemat saya, jika ketentuan ukuran sudah ditentukan oleh hakim agung, kenapa kita tidak juga ikuti,” saran Catur. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait