calon hakim agung (CHA) dari kamar Perdata Setyawan Hartono yang merupakan Hakim Tinggi di Bawas MA.
Jakarta (Komisi Yudisial) – Salah satu penyebab masih tingginya tingkat pelanggaran yang dilakukan hakim adalah pengawasan yang dilakukan di Mahkamah Agung (MA) saat ini belum cukup maksimal. Rasio antara yang melakukan pengawasan dan yang diawasi tidak seimbang. Selain itu, kewenangan Badan Pengawasan (Bawas) MA juga terbatas, karena tidak bisa melakukan pemanggilan saksi secara paksa seperti yang dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY).
Hal itu diungkapkan salah satu calon hakim agung (CHA) dari kamar Perdata
Setyawan Hartono yang merupakan Hakim Tinggi di Bawas MA.
“Pengawasan yang efektif adalah pengawasan melekat atau struktural. Sebab tangan Bawas MA pendek,” ungkap Setyawan dalam wawancara terbuka Selasa (21/6) di Auditorium KY, Jakarta.
Ada banyak pelanggaran yang ditemukan selama Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Tanjung Karang ini melakukan tugas di Bawas MA. Paling banyak terkait materi dan pelanggaran terselubung.
"Kita tahu pelanggaran itu ada, namun tidak memiliki buktinya. Ada kecurigaan misalnya terhadap tren vonis perkara korupsi yang ringan. Jaksa Penuntut Umum juga menuntut pasal yang vonisnya ringan. Namun kita tidak bisa masuk sebab hal tersebut sakral," ujar Setyawan.
Tidak maksimalnya fungsi Bawas MA juga disebabkan oleh pengawasan dilakukan hakim tinggi yang tidak memiliki kemampuan investigasi yang memadai. Alumnus Sarjana dan Magister Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini sudah beberapa kali mengusulkan agar ada pelatihan ataupun bantuan dari aparat lembaga negara lain yang kompenten untuk membantu Bawas MA. Ia juga pernah mengusulkan agar Bawas MA tidak di bawah Sekretariat MA.
“Saya mengakui bahwa saya tidak pernah melakukan penemuan hukum yang otentik, karena perkara yang saya tangani adalah perkara biasa. Tapi saya memiliki integritas yang bisa dipertanggungjawabkan sebagai hakim agung,” pungkas Setyawan. (KY/Noer/Festy)