Calon hakim ad hoc di MA Reytman Aruan: Mewujudkan procedural dan substantive justice Lewat Dialog
Peserta keempat wawancara terbuka calon hakim ad hoc Hubungan Industrial di Mahkamah Agung (MA) adalah Reytman Aruan yang diusulkan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).

Jakarta (Komisi Yudisial) – Peserta keempat wawancara terbuka calon hakim ad hoc Hubungan Industrial di Mahkamah Agung (MA) adalah Reytman Aruan yang diusulkan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Calon yang merupakan Kasubdit Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia ditanya pendapatnya soal bagaimana solusi atas perselisihan antara pekerja dan pengusaha.
 
Menurut Reytman cara terbaik adalah dengan melakukan dialog antara pekerja dengan pemimpin di perusahaannya sehingga kedua belah pihak akan mendapatkan procedural dan substantive justice. Cara ini jauh lebih “lembut” dan baik karena menciptakan solusi bagi kedua belah pihak.
 
“Dengan melakukan perundingan antar kedua belah pihak merupakan cara yang paling baik di mana dapat menciptakan solusi di kedua belah pihak,” ucap Reytman saat menjawab pertanyaan panelis, Selasa (16/1) di Auditorium KY, Jakarta.
 
Lebih lanjut Reytman menjelaskan, procedural justice adalah ketika terjadi suatu konflik, maka dilakukan tahapan-tahapan yang sesuai dengan prosedur. Yaitu, dimulai dari perundingan, mediasi,  hingga sampai pada pengadilan. Sedangkan substantive justice, keadilan perlu dilihat apa yang menjadi kepentingan dalam perundingan tersebut dari kedua belah pihak.
 
“Dengan mengemukakan dialog dalam jalan perundingan, maka kedua belah pihak akan mendapatkan baik procedural maupun substantive justice,” tambah Reytman.
 
Reytman juga ditanya oleh Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi KY Farid Wajdi soal perselisihan bagi pekerja asing yang bekerja di Indonesia. “Bagaimana dengan pekerja asing yang bekerja di Indonesia, jika ada perselisihan perburuhan, ke mana mereka menyelesaikan perkara itu?” tanya Farid.
 
Menurut Reytman, Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, perselisihan hubungan industrial dapat diselesaikan di tempat ia bekerja. Namun apabila dalam klausul kontraknya pihak pekerja itu harus menyelesaikan dengan regulasi pusat yang sesuai dengan negara asalnya, maka pekerja ini tidak bisa membawa kasus ini pada PHI.
 
“Jika terdapat klausul demikian dalam kontrak antar pekerja dengan perusahaannya, maka kasus ini tidak bisa dibawa pada PHI. Karena sesuai dengan kontrak kerjanya dan kita harus menghargai pilihan dari kedua belah pihak itu,” pungkas Reytman. (KY/Adnan/Festy)

Berita Terkait